Monday, March 10, 2014

Adat Hanya Sekedar Simbol (?)

Adat? Namun apakah ini hanya simbol-simbol saja?

Sebuah pesta adat Batak secara tidak disadari menjadi bentuk peneguhan kembali relasi di antara marga yang memiliki hubungan kekerabatan. Seperti halnya konsepsi Durkheim bahwa seremoni adalah bentuk memperkuat keberadaan nilai-nilai ideal yang dipegang oleh kelompok. Kebahagiaan dan kebersamaan antar mereka yang memiliki kekerabatan di dalam sebuah acara Adat tidak akan hilang begitu saja. Masing-masing pihak yang terlibat diingatkan tentang garis kekerabatannya dan tanggung jawab yang dimilikinya terkait dengan posisinya.

Dan kebersamaan yang ditonjolkan dalam adat bukanlah simbol semata. Bahkan saya sering menganggap bahwa pesta adat merupakan miniatur dari kehidupan keseharian orang Batak. Kelompok marga bukan saja menjadi keluarga ketika acara adat berlangsung, juga merupakan keluarga dalam kehidupan keseharian. 

Marga Sipayung se-Jabotabek secara aktif terlibat dalam pesta adat pernikahan saya, karena bagi mereka saya adalah anak atau Saudara mereka. Namun dalam kehidupan nyata hal ini tidak jauh berbeda.

Saya pernah bertemu dengan seorang marga Sipayung yang merupakan seorang pengusaha sukses pada sebuah seminar di Jakarta. Dengan mudahnya kami bisa merasa akrab. Seketika itu juga ia menganggap saya adik, serta saya menganggapnya Abang. Relasi kamipun berkembang layaknya seorang kakak-adik dalam relasi biologis. Kamipun kemudian saling membantu. Dan baru-baru ini ia dengan senang hati mendanai projek yang akan saya laksanakan tahun depan (2009). 

Demikian halnya ketika saya bertemu dengan seorang bermarga Siahaan yang merupakan pejabat tinggi di salah satu Departemen di Jakarta. Saya langsung disambut dengan hangat, meskipun kami tidak pernah saling mengenal sebelum. Dia bisa memperlakukan saya dengan sangat ramah begitu ia tahu saya adalah berenya (karenanya ibu saya boru Siahaan). Dan bukan tidak mungkin jika suatu saat saya membutuhkan bantuannya "Tulang saya itu" akan menolong dengan rela hati. 

Kejadian sedemikian sering saya alami. Tidak hanya dengan kedua marga di atas melainkan juga dengan marga-marga lain yang memiliki hubungan kekerabatan dengan marga saya. Dan saya yakin pengalaman sedemikian merupakan hal yang lazim dialami kebanyakan orang Batak. 

Sehingga seringkali bagi orang Batak modal untuk tetap eksis diperantuan adalah mengetahui parturutan (pengetahuan tentang marga-marga yang memiliki hubungan kekerabatan serta bagaimana bentuk hubungannya). Umumnya orang Batak yang tidak kenal, khususnya di perantuan, ketika bertemu akan saling menanyakan marganya dan menarik hubungan kekerabatan. 

Beruntunglah jika ternyata ia bertemu dengan Saudara semarganya. Karena dalam banyak kasus, seorang perantau yang tidak memiliki Saudara kandung mendapat tumpangan atau pertolongan dari orang yang baru ia kenal karena kebetulan satu marga. Demikian jika yang kemudian bertemu dengan seseorang dengan marga yang masih dekat hubungannya, maka secara otomatis akan terbentuk rasa persaudaraan.

Oleh sebab itu masuk ke dalam kelompok marga atau memiliki relasi kekeluargaan dengan marga tertentu adalah sebuah keuntungan. Bahkan merupakan aset yang sangat berharga bagi orang Batak. Karena secara otomatis kita memiliki komunitas besar yang akan melindungi kita ketika berada dalam kesusahan atau turut merasakan kegembiraannya. 

Sehingga wajar ketika akan melakukan sebuah pesta besar, orang Batak umumnya akan mengundang marga-marga yang memiliki hubungan kekerabatan. Ataupun ketika anggota keluarga melakukan pesta Adat mereka juga turut hadir dan berpartisipasi.

Pesta Adat tentunya juga bukan bentuk penghambur-hamburan uang. Toh, dalam pesta Adat kelompok satu marga dan "boru" atau keluarga yang lain juga akan turut serta membantu memberi tumpak (uang dalam amplop) untuk meringankan beban keluarga yang melakukan pesta Adat. Bahkan banyak dari pihak boru yang siap membantu tanpa harus dibayar jasanya. 


Namun karena upacara adat Batak melibatkan marga mau tidak mau yang hadir jumlahnya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan. Tapi perlu juga diingat bahwa pesta adat sesungguhnya tidak saja diselenggarakan oleh sebuah keluarga namun juga mencakup seluruh Saudara semarganya. Sehingga beban untuk melakukan upacara bersifat kolektif sesungguhnya juga ditanggung oleh banyak orang. Disamping itu kualitas pesta Adat tidak terletak dari kemewahannya melainkan dari kehadiran dari marga-marga yang memiliki hubungan kekerabatan, dan proses pemberian serta simbolisasi holong dapat berlangsung dengan baik. Pesta Adat dapat dilaksanakan sederhana tanpa mereduksi maknanya.

Hanya saja kecenderung yang terjadi saat ini banyak orang Batak, menurut pendapat saya, yang mengaburkan esensi pesta batak itu sendiri. Bahwa pesta adat, khususnya pernikahan, harus mewah. Dan akan sempurna jika diisi dengan penghibur terkenal, makanan mewah, pengantin menggenakan baju pengantin yang super mewah dsb. Sehingga sebagian besar uang yang dihabiskan bukan untuk mewujudkan esensi sebuah acara Adat melainkan lebih pada show up.

Sehingga dampaknya, banyak orang Batak, khususnya yang ekonominya tidak terlalu baik, khawatir jika pestanya tidak semewah kebanyakan orang, bakal menjadi cemohan orang lain.

Baru-baru ini saya mengikuti acara mangadati dari Saudara saya yang bermarga Sipayung. Acaranya diadakan di ruang serba guna gereja salah satu gereja di Jakarta. Ruangannya tidak terlalu besar dan boleh dikatakan semi permanen. Jamuannya dilakukan secara prasmanan dan sederhana. Serta hanya diiringin organ tunggal tanpa pemain suling atau gondang. Namun pesta itu tetap meriah dan adat berjalan dengan baik. Dan semua undangan maklumi kondisi tersebut yang memang terkait dengan kemampuan ekonomi keluarga penyelenggara pesta. 


Intinya esensi dari sebuah pesta Adat Batak adalah sebuah bentuk ungkapan penghormatan yang berlangsung secara simbolis kepada seluruh garis marga kerabat. Karena pemberian penghormatan tidak bisa langsung kepada setiap pribadi maka dilakukan secara simbolis.

No comments:

Post a Comment