Adat?
Namun apakah ini hanya simbol-simbol saja?
Sebuah
pesta adat Batak secara tidak disadari menjadi bentuk peneguhan kembali relasi
di antara marga yang memiliki hubungan kekerabatan. Seperti halnya konsepsi
Durkheim bahwa seremoni adalah bentuk memperkuat keberadaan nilai-nilai ideal
yang dipegang oleh kelompok. Kebahagiaan dan kebersamaan antar mereka yang
memiliki kekerabatan di dalam sebuah acara Adat tidak akan hilang begitu saja.
Masing-masing pihak yang terlibat diingatkan tentang garis kekerabatannya dan
tanggung jawab yang dimilikinya terkait dengan posisinya.
Dan
kebersamaan yang ditonjolkan dalam adat bukanlah simbol semata. Bahkan saya
sering menganggap bahwa pesta adat merupakan miniatur dari kehidupan keseharian
orang Batak. Kelompok marga bukan saja menjadi keluarga ketika acara adat
berlangsung, juga merupakan keluarga dalam kehidupan keseharian.
Marga
Sipayung se-Jabotabek secara aktif terlibat dalam pesta adat pernikahan saya,
karena bagi mereka saya adalah anak atau Saudara mereka. Namun dalam kehidupan
nyata hal ini tidak jauh berbeda.
Saya pernah bertemu dengan seorang marga Sipayung yang merupakan seorang pengusaha sukses pada sebuah seminar di Jakarta. Dengan mudahnya kami bisa merasa akrab. Seketika itu juga ia menganggap saya adik, serta saya menganggapnya Abang. Relasi kamipun berkembang layaknya seorang kakak-adik dalam relasi biologis. Kamipun kemudian saling membantu. Dan baru-baru ini ia dengan senang hati mendanai projek yang akan saya laksanakan tahun depan (2009).
Saya pernah bertemu dengan seorang marga Sipayung yang merupakan seorang pengusaha sukses pada sebuah seminar di Jakarta. Dengan mudahnya kami bisa merasa akrab. Seketika itu juga ia menganggap saya adik, serta saya menganggapnya Abang. Relasi kamipun berkembang layaknya seorang kakak-adik dalam relasi biologis. Kamipun kemudian saling membantu. Dan baru-baru ini ia dengan senang hati mendanai projek yang akan saya laksanakan tahun depan (2009).
Demikian
halnya ketika saya bertemu dengan seorang bermarga Siahaan yang merupakan
pejabat tinggi di salah satu Departemen di Jakarta. Saya langsung disambut
dengan hangat, meskipun kami tidak pernah saling mengenal sebelum. Dia bisa
memperlakukan saya dengan sangat ramah begitu ia tahu saya adalah berenya
(karenanya ibu saya boru Siahaan). Dan bukan tidak mungkin jika suatu saat saya
membutuhkan bantuannya "Tulang saya itu" akan menolong dengan rela
hati.
Kejadian
sedemikian sering saya alami. Tidak hanya dengan kedua marga di atas melainkan
juga dengan marga-marga lain yang memiliki hubungan kekerabatan dengan marga
saya. Dan saya yakin pengalaman sedemikian merupakan hal yang lazim dialami
kebanyakan orang Batak.
Sehingga
seringkali bagi orang Batak modal untuk tetap eksis diperantuan adalah
mengetahui parturutan (pengetahuan tentang marga-marga yang memiliki hubungan
kekerabatan serta bagaimana bentuk hubungannya). Umumnya orang Batak yang
tidak kenal, khususnya di perantuan, ketika bertemu akan saling menanyakan
marganya dan menarik hubungan kekerabatan.
Beruntunglah
jika ternyata ia bertemu dengan Saudara semarganya. Karena dalam banyak kasus,
seorang perantau yang tidak memiliki Saudara kandung mendapat tumpangan atau
pertolongan dari orang yang baru ia kenal karena kebetulan satu marga. Demikian
jika yang kemudian bertemu dengan seseorang dengan marga yang masih dekat
hubungannya, maka secara otomatis akan terbentuk rasa persaudaraan.
Oleh sebab itu masuk ke dalam kelompok marga atau memiliki relasi kekeluargaan dengan marga tertentu adalah sebuah keuntungan. Bahkan merupakan aset yang sangat berharga bagi orang Batak. Karena secara otomatis kita memiliki komunitas besar yang akan melindungi kita ketika berada dalam kesusahan atau turut merasakan kegembiraannya.
Oleh sebab itu masuk ke dalam kelompok marga atau memiliki relasi kekeluargaan dengan marga tertentu adalah sebuah keuntungan. Bahkan merupakan aset yang sangat berharga bagi orang Batak. Karena secara otomatis kita memiliki komunitas besar yang akan melindungi kita ketika berada dalam kesusahan atau turut merasakan kegembiraannya.
Sehingga
wajar ketika akan melakukan sebuah pesta besar, orang Batak umumnya akan
mengundang marga-marga yang memiliki hubungan kekerabatan. Ataupun ketika
anggota keluarga melakukan pesta Adat mereka juga turut hadir dan
berpartisipasi.
Pesta
Adat tentunya juga bukan bentuk penghambur-hamburan uang. Toh, dalam pesta Adat
kelompok satu marga dan "boru" atau keluarga yang lain juga akan
turut serta membantu memberi tumpak (uang dalam amplop) untuk meringankan beban
keluarga yang melakukan pesta Adat. Bahkan banyak dari pihak boru yang siap
membantu tanpa harus dibayar jasanya.
Namun
karena upacara adat Batak melibatkan marga mau tidak mau yang hadir jumlahnya
bisa mencapai ratusan bahkan ribuan. Tapi perlu juga diingat bahwa pesta adat
sesungguhnya tidak saja diselenggarakan oleh sebuah keluarga namun juga
mencakup seluruh Saudara semarganya. Sehingga beban untuk melakukan upacara
bersifat kolektif sesungguhnya juga ditanggung oleh banyak orang. Disamping itu kualitas pesta Adat tidak terletak dari kemewahannya melainkan
dari kehadiran dari marga-marga yang memiliki hubungan kekerabatan, dan proses
pemberian serta simbolisasi holong dapat berlangsung dengan baik. Pesta Adat
dapat dilaksanakan sederhana tanpa mereduksi maknanya.
Hanya saja kecenderung yang terjadi saat ini banyak orang Batak, menurut pendapat saya, yang mengaburkan esensi pesta batak itu sendiri. Bahwa pesta adat, khususnya pernikahan, harus mewah. Dan akan sempurna jika diisi dengan penghibur terkenal, makanan mewah, pengantin menggenakan baju pengantin yang super mewah dsb. Sehingga sebagian besar uang yang dihabiskan bukan untuk mewujudkan esensi sebuah acara Adat melainkan lebih pada show up.
Hanya saja kecenderung yang terjadi saat ini banyak orang Batak, menurut pendapat saya, yang mengaburkan esensi pesta batak itu sendiri. Bahwa pesta adat, khususnya pernikahan, harus mewah. Dan akan sempurna jika diisi dengan penghibur terkenal, makanan mewah, pengantin menggenakan baju pengantin yang super mewah dsb. Sehingga sebagian besar uang yang dihabiskan bukan untuk mewujudkan esensi sebuah acara Adat melainkan lebih pada show up.
Sehingga
dampaknya, banyak orang Batak, khususnya yang ekonominya tidak terlalu baik,
khawatir jika pestanya tidak semewah kebanyakan orang, bakal menjadi cemohan
orang lain.
Baru-baru
ini saya mengikuti acara mangadati dari Saudara saya yang bermarga Sipayung.
Acaranya diadakan
di ruang serba guna gereja salah satu gereja di Jakarta. Ruangannya tidak terlalu besar dan
boleh dikatakan semi permanen. Jamuannya dilakukan secara prasmanan dan
sederhana. Serta hanya diiringin organ tunggal tanpa pemain suling atau
gondang. Namun pesta itu tetap meriah dan adat berjalan dengan baik. Dan semua
undangan maklumi kondisi tersebut yang memang terkait dengan kemampuan ekonomi
keluarga penyelenggara pesta.
Intinya
esensi dari sebuah pesta Adat Batak adalah sebuah bentuk ungkapan penghormatan
yang berlangsung secara simbolis kepada seluruh garis marga kerabat. Karena
pemberian penghormatan tidak bisa langsung kepada setiap pribadi maka dilakukan
secara simbolis.
No comments:
Post a Comment