Untuk memahami adat tentunya kita harus memahami system nilai-nilai ideal orang
Batak (world view). Bagaimana ia memahami realitasnya, khususnya dalam
kaitannya dengan relasinya terhadap sesama.
Setiap
orang Batak terikat dengan dengan sistem marga. Nama marga ini diperoleh dari
garis keturunan ayah (patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada
keturunannya secara terus menerus (Wikipedia, 2008). Orang-orang dalam satu
marga menjalankan aturan hidup layaknya Saudara kandung, seperti tidak boleh
kawin atau saling membantu tanpa pamrih dengan Saudara semarganya tersebut.
Batak Tempo Dulu - Foto Koleksi Tropen Museum NL by ewy_bb
Disamping
itu di antara marga berbeda yang berasal dari satu nenek moyangpun menjadi
marga yang bersaudara. Dan terikat dengan aturan yang sama seperti aturan
diantara Saudara semarga. Seperti halnya marga-marga pada keturunan
“Silahisabungan” atau kumpulan marga “Parna” dsb.
Sedangkan
hubungan dengan marga lain, yang tidak berasal dari satu nenek moyang, dapat
terjadi akibat adanya diantara hubungan kekeluargaan akibat pernikahan pada
nenek moyang masing-masing marga di masa lalu. Atau karena relasi antar marga
yang terjadi di masa kini.
Hubungan
antara marga “Tambunan” dengan “Manurung” terjadi karena “Opung Silahisabungan
“(nenek moyang marga-marga silahisabungan termasuk di dalamnya “Tambuhan”)
memiliki istri boru “Manurung”. Sehingga hingga saat ini setiap marga Tambunan
akan menganggap setiap yang bermarga “Manurung” sebagai "Tulang" atau
"Lae". Atau ketika bertemu dengan boru “Manurung” akan otomatis
menganggap sebagai “Pariban”, “Inatua” atau “Inanguda”.
Hubungan
antar marga bisa juga terjadi akibat yang relasi yang terjadi saat ini yang
umumnya melalui pernikahan. Misalnya saya bermarga “Sipayung” memiliki hubungan
kekeluargaan dengan marga “Siahaan” dan “Butar-Butar” karena saya menikah
dengan boru “Butar-Butar”, atau karena ibu saya boru “Siahaan”. Termasuk juga
dengan marga lainnya yang terikat dengan marga saya memalui pernikahan Saudara
semarga saya, paman saya atau pernikahan yang terjadi di keluarga istri, ibu
atau opung saya. Namun ikatan ini tidak berlaku untuk semua marga Sipayung
melainkan hanya untuk marga sipayung yang memiliki hubungan kekerabatan yang
dekat dengan saya.
Dalam
struktur relasi antar keluarga atau pribadi, orang Batak mengenal istilah
"dalihan na tolu". "Dalihan Na Tolu" dari dapat diartikan
sebagai tungku yang berkaki tiga. Dimana "dalihan na tolu" terdiri
atas hulahula disebut pihak istri atau ibu. "Dongan Sabutuha" berarti
Saudara semarga. "Boru" adalah pihak yang menerima anak perempuan
dari "hula-hula".
Dimana relasi diantara orang Batak terbentuk berdasarkan struktur di atas. Apakah ia berposisi sebagai "hula-hula", "boru" ataupun dongan sabutuhan dalam hubungannya dengan yang lain. Dan dalam sebuah acara adat (demikian halnya dalam kehidupan sehari-hari), fungsi dan peran yang akan dijalankan akan sangat tergantung pada posisi kelompok marga dalam "dalihan na tolu" tersebut.
Esensi
Ritual Acara adat sesungguhnya simbolisasi kesadaran orang Batak terhadap
realitas hubungan kekeluargaannya. Serta mewujudkan rasa hormat/kasih (holong)
secara simbolis sesuai dengan posisinya dalam sistem kekerabatan.
Dalam
sebuah acara adat (dalam hal ini adalah mangadati), pihak hula-hula akan
memberikan ulos sebagai simbolisasi dari doa atau berkat. Mengapa hula-hula
berhak memberikan doa atau berkat, karena hula-hula berada pada posisi yang
lebih tinggi dari pihak boru. Pemberian ulos sekaligus simbol dari rasa hormat
dan kasihnya terhadap keluarga borunya yang menyelanggarakan acara adat
tersebut.
Setiap
bentuk ritual tradisional merupakan aplikasi dari hukum pemberian-pembalasan,
atau "potlact" seperti konsepsi Marcel Mauss (antropolog Prancis Abad
ke-19). Menurut Marcel Mauss, dalam masyarakat tradisional berlaku hukum
pemberian, dimana setiap pihak akan berusaha memberikan sesuatu dan membalaskan
pemberian seseorang. Pemberian tidak saja berarti material melainkan juga
dipahami pemberian secara roh/spiritual. Pemberian tanpa balasan adalah sesatu
yang tidak dibenarkan, bahkan dapat menimbulkan malapetaka bagi si penerima. Di
sisi lain pemberian tak terbalaskan akan menciptakan kehormatan bagi si
pemberi.
Maka
rasa hormat ini dari pihak hula-hula dalam hal ini melalui ulos akan dibalaskan
melalui pemberian uang sebagai ganti. Karena dalam sistem pemberian, khususnya
pada suku Batak, seperti halnya yang terjadi dalam hukum "potlack",
pemberian tanpa balasan merupakan sebuah hal yang kurang etis.
Dan
dari pihak boru yang menyelenggarakan acara adat (adik perempuan atau perempuan
semarga dengan pihak penyelenggaran acara adat), merekapun turut memberikan
rasa hormat/ ”kasih” / ”holongnya” nya kepada hula-hulanya dengan bekerja
(marhobas). Merekalah turut bertanggung jawab atas keberhasilan pesta tersebut.
Namun mereka juga akan mendapatkan balasan hormat dari pihak hula-hulanya
apakah berupa ulos atau jambar.
Oleh
sebab itu sebuah pesta adat merupakan sebuah parade simbol terhadap nilai-nilai
hidup orang Batak, tentang sistem relasinya, tentang prinsip hidupnya (hormat)
dan idealitas prinsip hidup saling memberi. Tentunya tanpa memahami makna dari
pesta itu sendiri maka setiap tahapan dari ritual tersebut akan dirasa sangat
membosankan.
Original : Moan Sipayung
No comments:
Post a Comment