Friday, March 7, 2014

Esensi Adat Batak


Untuk memahami adat tentunya kita harus memahami system nilai-nilai ideal orang Batak (world view). Bagaimana ia memahami realitasnya, khususnya dalam kaitannya dengan relasinya terhadap sesama.

Setiap orang Batak terikat dengan dengan sistem marga. Nama marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus (Wikipedia, 2008). Orang-orang dalam satu marga menjalankan aturan hidup layaknya Saudara kandung, seperti tidak boleh kawin atau saling membantu tanpa pamrih dengan Saudara semarganya tersebut.

Batak Tempo Dulu - Foto Koleksi Tropen Museum NL by ewy_bb

Disamping itu di antara marga berbeda yang berasal dari satu nenek moyangpun menjadi marga yang bersaudara. Dan terikat dengan aturan yang sama seperti aturan diantara Saudara semarga. Seperti halnya marga-marga pada keturunan “Silahisabungan” atau kumpulan marga “Parna” dsb.

Sedangkan hubungan dengan marga lain, yang tidak berasal dari satu nenek moyang, dapat terjadi akibat adanya diantara hubungan kekeluargaan akibat pernikahan pada nenek moyang masing-masing marga di masa lalu. Atau karena relasi antar marga yang terjadi di masa kini. 

Hubungan antara marga “Tambunan” dengan “Manurung” terjadi karena “Opung Silahisabungan “(nenek moyang marga-marga silahisabungan termasuk di dalamnya “Tambuhan”) memiliki istri boru “Manurung”. Sehingga hingga saat ini setiap marga Tambunan akan menganggap setiap yang bermarga “Manurung” sebagai "Tulang" atau "Lae". Atau ketika bertemu dengan boru “Manurung” akan otomatis menganggap sebagai “Pariban”, “Inatua” atau “Inanguda”.

Hubungan antar marga bisa juga terjadi akibat yang relasi yang terjadi saat ini yang umumnya melalui pernikahan. Misalnya saya bermarga “Sipayung” memiliki hubungan kekeluargaan dengan marga “Siahaan” dan “Butar-Butar” karena saya menikah dengan boru “Butar-Butar”, atau karena ibu saya boru “Siahaan”. Termasuk juga dengan marga lainnya yang terikat dengan marga saya memalui pernikahan Saudara semarga saya, paman saya atau pernikahan yang terjadi di keluarga istri, ibu atau opung saya. Namun ikatan ini tidak berlaku untuk semua marga Sipayung melainkan hanya untuk marga sipayung yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan saya. 

Dalam struktur relasi antar keluarga atau pribadi, orang Batak mengenal istilah "dalihan na tolu". "Dalihan Na Tolu" dari dapat diartikan sebagai tungku yang berkaki tiga. Dimana "dalihan na tolu" terdiri atas hulahula disebut pihak istri atau ibu. "Dongan Sabutuha" berarti Saudara semarga. "Boru" adalah pihak yang menerima anak perempuan dari "hula-hula".

Dimana relasi diantara orang Batak terbentuk berdasarkan struktur di atas. Apakah ia berposisi sebagai "hula-hula", "boru" ataupun dongan sabutuhan dalam hubungannya dengan yang lain. Dan dalam sebuah acara adat (demikian halnya dalam kehidupan sehari-hari), fungsi dan peran yang akan dijalankan akan sangat tergantung pada posisi kelompok marga dalam "dalihan na tolu" tersebut. 

Esensi Ritual Acara adat sesungguhnya simbolisasi kesadaran orang Batak terhadap realitas hubungan kekeluargaannya. Serta mewujudkan rasa hormat/kasih (holong) secara simbolis sesuai dengan posisinya dalam sistem kekerabatan. 

Dalam sebuah acara adat (dalam hal ini adalah mangadati), pihak hula-hula akan memberikan ulos sebagai simbolisasi dari doa atau berkat. Mengapa hula-hula berhak memberikan doa atau berkat, karena hula-hula berada pada posisi yang lebih tinggi dari pihak boru. Pemberian ulos sekaligus simbol dari rasa hormat dan kasihnya terhadap keluarga borunya yang menyelanggarakan acara adat tersebut.

Setiap bentuk ritual tradisional merupakan aplikasi dari hukum pemberian-pembalasan, atau "potlact" seperti konsepsi Marcel Mauss (antropolog Prancis Abad ke-19). Menurut Marcel Mauss, dalam masyarakat tradisional berlaku hukum pemberian, dimana setiap pihak akan berusaha memberikan sesuatu dan membalaskan pemberian seseorang. Pemberian tidak saja berarti material melainkan juga dipahami pemberian secara roh/spiritual. Pemberian tanpa balasan adalah sesatu yang tidak dibenarkan, bahkan dapat menimbulkan malapetaka bagi si penerima. Di sisi lain pemberian tak terbalaskan akan menciptakan kehormatan bagi si pemberi.

Maka rasa hormat ini dari pihak hula-hula dalam hal ini melalui ulos akan dibalaskan melalui pemberian uang sebagai ganti. Karena dalam sistem pemberian, khususnya pada suku Batak, seperti halnya yang terjadi dalam hukum "potlack", pemberian tanpa balasan merupakan sebuah hal yang kurang etis.

Dan dari pihak boru yang menyelenggarakan acara adat (adik perempuan atau perempuan semarga dengan pihak penyelenggaran acara adat), merekapun turut memberikan rasa hormat/ ”kasih” / ”holongnya” nya kepada hula-hulanya dengan bekerja (marhobas). Merekalah turut bertanggung jawab atas keberhasilan pesta tersebut. Namun mereka juga akan mendapatkan balasan hormat dari pihak hula-hulanya apakah berupa ulos atau jambar. 

Oleh sebab itu sebuah pesta adat merupakan sebuah parade simbol terhadap nilai-nilai hidup orang Batak, tentang sistem relasinya, tentang prinsip hidupnya (hormat) dan idealitas prinsip hidup saling memberi. Tentunya tanpa memahami makna dari pesta itu sendiri maka setiap tahapan dari ritual tersebut akan dirasa sangat membosankan. 

Original : Moan Sipayung

No comments:

Post a Comment